Rancangan Undang-Undang Pangan kembali jadi sorotan di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta Pusat. Salah satu anggota Komisi IV, Titiek Soeharto, menyampaikan pandangan mengenai posisi strategis Bulog. Ia mengusulkan agar Bulog berada langsung di bawah Presiden demi stabilisasi pangan nasional menyeluruh.
Menurutnya, hal itu akan memudahkan pengambilan keputusan saat krisis pangan melanda berbagai wilayah. Pernyataan itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat bersama beberapa lembaga terkait urusan ketahanan pangan. Titiek menilai posisi Bulog saat ini masih belum optimal dalam menjaga stok pangan nasional secara merata.
Ia menekankan bahwa sistem distribusi Bulog masih mengalami kendala birokrasi dan tumpang tindih kewenangan. Dengan menjadikannya lembaga di bawah Presiden, koordinasi dinilai akan jauh lebih efektif dan efisien. Usulan tersebut langsung mengundang respons dari beberapa anggota dewan dan pemangku kebijakan lainnya.
Sebagian besar menyambut baik ide penguatan Bulog demi ketahanan pangan jangka panjang yang berkelanjutan.Namun, ada juga yang mengingatkan agar kajian mendalam tetap dilakukan demi mencegah konflik kewenangan. Meski belum diputuskan, usulan ini dianggap sebagai langkah serius dalam reformasi lembaga pangan nasional.
Tantangan Ketahanan Pangan Nasional Perlu Ditangani Lewat Sinergi Lembaga dan Arah Kebijakan Terpadu
Indonesia sebagai negara agraris dinilai belum optimal dalam mengelola kekuatan pangan secara nasional. Kebijakan yang berubah-ubah dan lemahnya koordinasi menyebabkan distribusi pangan sering terganggu. Bulog sebagai lembaga pangan negara sering kali terbebani regulasi yang tidak sinkron antar kementerian.
Dalam konteks RUU Pangan, sinergi antar lembaga menjadi sorotan utama dalam pembahasan di parlemen. Ketahanan pangan tak hanya soal ketersediaan bahan pokok, tapi juga stabilitas harga dan distribusinya. Oleh karena itu, Titiek mendorong sistem terpadu yang melibatkan kementerian, lembaga, dan pelaku usaha.
Pemerintah pusat diminta mengambil alih kendali atas urusan pangan agar distribusi tidak terhambat. Jika Bulog berada di bawah Presiden, maka keputusan strategis bisa langsung diambil tanpa hambatan. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat respons pemerintah terhadap gejolak harga dan kelangkaan pangan.
Menurut data terakhir, beberapa wilayah masih mengalami ketimpangan distribusi beras dan bahan pangan lainnya. Ini menunjukkan perlunya reformasi sistemik dalam penanganan pangan dari hulu hingga ke tingkat konsumen. RUU Pangan dianggap sebagai momentum penting untuk menata ulang sistem pangan secara nasional dan adil.
Bulog Didorong Berperan Aktif Menstabilkan Harga dan Menyerap Produksi Petani Secara Maksimal
Dalam usulannya, Titiek juga menyoroti pentingnya peran Bulog sebagai mitra petani di lapangan. Selama ini, Bulog dinilai belum maksimal dalam menyerap hasil panen petani dengan harga yang layak. Akibatnya, petani kerap merugi karena harga jatuh saat panen raya dan minimnya intervensi pemerintah.
Ia menekankan bahwa Bulog harus diberikan kewenangan penuh untuk menjaga stabilitas harga petani. Bulog tidak hanya sebagai pembeli terakhir, tetapi juga sebagai pengatur mekanisme pasar domestik. Jika dikuatkan secara struktural, maka fungsi ini akan berjalan secara lebih efektif dan konsisten.
Selain itu, perlu ada revitalisasi sistem logistik nasional yang mendukung pergerakan pangan dari desa. Transportasi dan infrastruktur harus diperkuat agar distribusi tidak terhambat jarak dan biaya. Dengan sistem logistik yang baik, harga di tingkat konsumen tidak akan melonjak secara tiba-tiba.
Program stabilisasi harga juga harus menyasar produk pangan lain seperti jagung, kedelai, dan minyak goreng. Titiek menyebutkan bahwa Bulog bisa jadi solusi konkret mengatasi fluktuasi harga berbagai komoditas pokok. Namun untuk itu, regulasi dan dukungan anggaran perlu dipastikan agar peran Bulog tidak terhambat birokrasi.
RUU Pangan Jadi Peluang untuk Pembenahan Sistem Pangan Nasional yang Lebih Terintegrasi dan Mandiri
RUU Pangan dianggap sebagai pintu masuk menuju sistem pangan nasional yang lebih terencana dan terpadu. Titiek Soeharto menilai momentum ini harus dimanfaatkan untuk mengakhiri praktik koordinasi yang tumpang tindih. Kebijakan pangan ke depan perlu memperkuat posisi lembaga strategis agar tidak hanya responsif tapi adaptif.
Menurutnya, jika Bulog berada langsung di bawah Presiden, maka orientasi kebijakan bisa lebih terfokus. Langkah ini dinilai mampu mempercepat reformasi ketahanan pangan nasional di tengah tantangan global. Termasuk perubahan iklim, krisis pasokan global, dan naiknya harga pangan internasional yang tak terhindarkan.
RUU ini diharapkan bisa menjamin keberlanjutan pangan melalui kelembagaan yang kuat dan terkoordinasi baik. Tidak hanya untuk situasi normal, tapi juga dalam menghadapi kondisi darurat dan bencana alam nasional. Pemerintah pun diminta untuk melibatkan berbagai pihak termasuk akademisi, petani, dan pelaku usaha lokal.
Proses pembahasan RUU Pangan masih berjalan, namun sinyal perubahan arah kebijakan mulai terlihat jelas. Jika disahkan, perubahan posisi Bulog bisa menjadi langkah bersejarah dalam tata kelola pangan Indonesia. Publik pun diminta aktif mengawal agar kebijakan ini benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat banyak.