Menteri Pertahanan Jerman, Boris Pistorius, secara resmi mengumumkan rencana revitalisasi wajib militer sebagai respons atas krisis pertahanan. Meski dihapus pada 2011, payung hukumnya masih tertanam dalam konstitusi Jerman, membuka jalan bagi reaktivasi. Bundeswehr terus kehilangan ribuan personel sejak penghapusan wajib militer, mengancam kesiapan tempur nasional.
Ancaman ekspansi Rusia pasca-invasi Ukraina memaksa Berlin mempertimbangkan opsi radikal ini. Wehrpflicht (wajib militer) sebelumnya hanya berlaku untuk pria sejak 1956, diatur dalam Pasal 12a Hukum Dasar Jerman. Kini, diskusi serius tengah berlangsung apakah sistem baru akan mencakup perempuan atau tetap eksklusif.
Para pendukung kebijakan ini berargumen bahwa "keamanan nasional bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan mendesak". Tanpa pasukan yang memadai, Jerman—sebagai kekuatan ekonomi terbesar Eropa—akan rentan terhadap destabilisasi. Namun, penentang menilai langkah ini sebagai kemunduran demokrasi dan pemborosan sumber daya pemuda.
Pistorius menegaskan, "Ini bukan tentang nostalgia militer, melainkan menjawab realitas geopolitik yang berubah drastis." Keputusan akhir akan sangat bergantung pada dinamika Parlemen Jerman dan tekanan publik. Jika disetujui, Jerman akan menjadi contoh bagi negara NATO lain yang menghadapi defisit personel.
Mengapa Wajib Militer Kembali Diperdebatkan?
Penghapusan wajib militer pada 2011 dianggap sebagai "kemenangan perdamaian" pasca-Perang Dingin. Namun, fakta menunjukkan Bundeswehr kehilangan lebih dari 30.000 personel dalam satu dekade terakhir. Sistem sukarela gagal memenuhi kuota, sementara ancaman keamanan justru meningkat pesat.
"Kita tidak bisa lagi mengandalkan status quo," tegas Pistorius dalam konferensi pers terbaru. Pasal 12a Konstitusi Jerman sengaja tidak dihapus sepenuhnya, memberi ruang untuk reaktivasi jika darurat militer terjadi. Kini, situasi di Eropa Timur dianggap cukup kritis untuk memicu langkah tersebut.
Yang menarik, Swedia dan Finlandia—dua negara yang netral selama puluhan tahun—kini memperkuat militernya dan bergabung dengan NATO. Tren ini memperkuat argumen bahwa Eropa sedang memasuki era pertahanan baru. Jika Jerman—negara dengan pengaruh terbesar di UE—tidak bertindak, kredibilitasnya bisa dipertanyakan.
Namun, tantangan terbesar adalah meyakinkan generasi muda. Survei menunjukkan hanya 37% warga berusia 18-30 tahun yang mendukung wajib militer. Pemerintah harus merancang program yang tidak mengganggu pendidikan sekaligus memberi nilai tambah, seperti pelatihan teknis atau beasiswa.
Apa yang Berubah Sejak 2011?
Jika dahulu Wehrpflicht hanya untuk pria, kini muncul wacana inklusi gender dalam wajib militer. Negara-negara seperti Norwegia dan Israel telah menerapkan model ini dengan sukses. Jerman mungkin akan mengadopsi pendekatan serupa untuk memenuhi standar kesetaraan.
Selain itu, teknologi militer modern membutuhkan keahlian khusus. Wajib militer di masa depan tidak hanya tentang memegang senjata, tetapi juga cyber warfare, drone operation, dan intelijen digital. Ini bisa menjadi daya tarik bagi generasi muda yang tertarik pada teknologi.
Yang tak kalah penting, dukungan politik. Kanselir Olaf Scholz belum sepenuhnya berkomitmen, sementara partai oposisi seperti AfD justru mendorong kebijakan ini. Jika Pistorius berhasil meyakinkan koalisi pemerintah, wajib militer bisa jadi kenyataan dalam 2-3 tahun ke depan.