TNI Jaga Kejaksaan, Polemik Muncul: Konstitusi atau Kolaborasi Keamanan?

Advertisement

970x90px

TNI Jaga Kejaksaan, Polemik Muncul: Konstitusi atau Kolaborasi Keamanan?

Kamis, 15 Mei 2025

 

TNI Jaga Kejaksaan

Pengerahan TNI ke lingkungan Kejaksaan menuai kritik tajam dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Langkah itu, menurut Indonesia Police Watch, menyimpang dari konstitusi dan meredupkan peran sipil yang sah. TAP MPR VII/2000 menyatakan bahwa TNI hanya alat pertahanan, bukan aktor keamanan nasional.

 

IPW melalui Ketua Sugeng Teguh Santoso menyebut pengamanan itu melanggar UUD 1945 dan TAP MPR. Fungsi menjaga ketertiban sipil adalah ranah Polri, bukan tugas aparat pertahanan seperti TNI. Pelibatan militer dalam urusan sipil dinilai mengganggu pemisahan kewenangan institusi negara.

 

Kritik makin menguat karena kehadiran militer dianggap mencederai prinsip lembaga penegak hukum yang independen. Sejumlah aktivis menyuarakan bahwa situasi ini berpotensi memunculkan praktik militerisme terselubung. Keterlibatan TNI, menurut IPW, justru menggerus otoritas Polri dalam menjaga ranah keamanan masyarakat.

 

IPW mendesak evaluasi terhadap kebijakan ini dan meminta Kejaksaan fokus perkuat sistem keamanannya sendiri. TNI sebaiknya kembali pada tugas pokoknya menjaga pertahanan, bukan menjadi garda sipil. Supremasi sipil harus ditegakkan demi menjaga demokrasi dan konstitusi secara menyeluruh.

 

Kejaksaan Agung Klarifikasi: TNI Hanya Amankan Fisik, Tidak Campuri Proses Penegakan Hukum

 

Kejagung akhirnya angkat bicara, menjawab gonjang-ganjing soal kehadiran TNI di wilayahnya. Kapuspenkum Harli Siregar menjelaskan bahwa tugas TNI hanya terbatas pada pengamanan aset fisik. Mereka tidak dilibatkan dalam penanganan kasus hukum ataupun proses investigasi internal Kejaksaan.

 

Menurut Harli, TNI hanya menjaga fasilitas seperti gedung, bukan ikut dalam proses penuntutan hukum. Ia menegaskan bahwa jaksa tetap bekerja secara independen tanpa tekanan atau intervensi militer. Fungsi penegakan hukum tetap sepenuhnya berada di tangan institusi Kejaksaan sendiri.

 

Harli menambahkan bahwa kantor kejaksaan termasuk dalam kategori objek vital nasional yang perlu dilindungi. Dalam konteks ini, kolaborasi dengan TNI dianggap sah dan sesuai kebutuhan pengamanan strategis. Tidak ada pelanggaran wewenang selama TNI tidak menjalankan fungsi penyidikan hukum.

 

Ia turut menegaskan peran Jampidmil sebagai jembatan hukum antara Kejaksaan dan institusi militer. Hal ini dinilai mempercepat koordinasi bila ada perkara yang melibatkan personel militer. Kerja sama tersebut dianggap wajar karena sudah ada dasar struktural dan hukum yang jelas.

 

TNI Tegaskan Tak Ada Situasi Darurat, Hanya Tugas Rutin dan Pengamanan Preventif Saja

 

TNI melalui Kadispenad Brigjen Wahyu Yudhayana memberikan klarifikasi terkait pengerahan prajurit ke Kejaksaan. Ia menjelaskan bahwa langkah tersebut bukan dilakukan dalam situasi genting atau keadaan darurat. Menurutnya, pola kerja sama ini hanyalah kelanjutan dari sinergi yang sudah lama terjalin.

 

Wahyu mengatakan, surat telegram Panglima TNI bukan bentuk operasi khusus, melainkan pengamanan preventif. Kerja sama ini sudah berlangsung sebelumnya dalam rangka hubungan antar institusi penegak hukum negara. Ia memastikan bahwa tidak ada pendekatan represif dari para prajurit yang bertugas.

 

Jumlah personel yang dikerahkan disesuaikan dengan kebutuhan, tidak dalam skala besar ataupun masif. Setiap lokasi hanya dijaga dua hingga tiga orang, sesuai kebutuhan teknis di masing-masing wilayah. Pengamanan dilakukan secara profesional, tanpa gangguan terhadap urusan hukum internal Kejaksaan.

 

Wahyu menambahkan bahwa keberadaan Jampidmil menjadi alasan struktural bagi koordinasi antara dua lembaga ini. Karena jaksa militer menangani kasus personel TNI, maka sinergi itu dianggap perlu. Dengan pola pengamanan terbatas ini, TNI tetap menjaga batas perannya dalam koridor hukum.

 

Perlu Revisi Kewenangan? Pakar Desak Evaluasi Kolaborasi TNI dan Lembaga Sipil Secara Menyeluruh

 

Polemik pengerahan TNI ke Kejaksaan membuka ruang evaluasi menyeluruh terhadap pembagian peran institusi. Pakar hukum tata negara menilai ini bisa melemahkan prinsip reformasi militer dan supremasi sipil. Kehadiran aparat militer di wilayah sipil rawan menimbulkan kekhawatiran publik luas.

 

Beberapa pengamat menilai pentingnya forum terbuka antara institusi negara untuk membahas hal ini serius. Kolaborasi lintas sektor memang dibutuhkan, tapi harus berdasarkan aturan hukum dan konstitusi. Pemerintah perlu mengevaluasi sejauh mana kerja sama itu tetap sejalan dengan reformasi TNI.

 

Penguatan kelembagaan sipil seperti Kejaksaan dan Polri dianggap solusi utama untuk persoalan pengamanan. Jika keamanan menjadi isu, seharusnya Polri mampu mengisi peran tersebut secara mandiri. Kepercayaan publik terhadap supremasi hukum bergantung pada profesionalisme institusi penegak hukum.

 

Tugas TNI sebagai alat pertahanan seharusnya tidak diperluas ke urusan sipil secara berlebihan. Perlu penegasan batas-batas peran militer agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan institusional. Transparansi, akuntabilitas, dan supremasi hukum harus menjadi prinsip utama kolaborasi keamanan negara.

 

Video

Video