Lonjakan Infeksi Menular Seksual di Gen Z: Fenomena Baru yang Perlu Diwaspadai

Advertisement

970x90px

Lonjakan Infeksi Menular Seksual di Gen Z: Fenomena Baru yang Perlu Diwaspadai

HapriYandi
Jumat, 20 Juni 2025

 

Lonjakan Infeksi Menular Seksual di Gen Z

Tren Kenaikan IMS di Kalangan Generasi Muda

Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia mencatat lonjakan signifikan kasus infeksi menular seksual (IMS), terutama di kalangan Generasi Z (Gen Z). 

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, tren ini menunjukkan bahwa kaum muda semakin rentan terhadap penularan penyakit seksual, seperti sifilis, gonore, hingga HIV. 

Fenomena ini mengindikasikan adanya perubahan gaya hidup dan perilaku seksual yang perlu mendapat perhatian khusus dari semua pihak, termasuk pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat umum.

Gen Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, saat ini berada pada masa transisi menuju usia dewasa. Masa ini dikenal sebagai fase eksplorasi identitas, termasuk dalam hal seksualitas. 

Edukasi Seks Masih Jadi Tantangan Besar

Minimnya Kurikulum Kesehatan Reproduksi

Salah satu pemicu utama lonjakan kasus IMS di kalangan Gen Z adalah kurangnya edukasi seksual yang komprehensif dan ilmiah di institusi pendidikan. Banyak sekolah di Indonesia belum memasukkan pendidikan seksualitas ke dalam kurikulum dengan alasan tabu atau khawatir akan ‘merusak moral’. 

Padahal, studi dari berbagai negara menunjukkan bahwa edukasi seks yang baik justru mampu menurunkan angka kehamilan remaja dan penularan penyakit seksual.

Selain itu, akses informasi yang tidak dikurasi dari media sosial justru memperbesar risiko misinformasi. Banyak remaja yang lebih mengandalkan konten dari platform digital seperti TikTok atau Instagram, yang belum tentu memiliki dasar ilmiah atau dikelola oleh tenaga profesional.

Seks Bebas dan Pengaruh Lingkungan Digital

Normalisasi Perilaku Seksual Bebas

Budaya digital yang berkembang pesat turut berkontribusi terhadap perubahan nilai dan norma di kalangan remaja.

Akses ke konten seksual eksplisit menjadi semakin mudah, bahkan tanpa kontrol orang tua atau institusi pendidikan. Hal ini menyebabkan normalisasi perilaku seksual bebas, sering kali tanpa penggunaan alat pelindung seperti kondom.

Sebagai contoh, banyak Gen Z yang menganggap seks sebagai bagian dari hubungan emosional semata, tanpa memahami risiko kesehatan yang menyertainya. 

Kurangnya kesadaran akan pentingnya tes kesehatan seksual sebelum dan sesudah melakukan hubungan seks juga menjadi penyebab utama penularan IMS.

Stigma dan Ketakutan Mencari Pengobatan

Stigma terhadap IMS masih sangat kuat di masyarakat, bahkan di kalangan tenaga medis. Ini menyebabkan banyak anak muda enggan memeriksakan diri ke klinik atau rumah sakit ketika mengalami gejala. 

Tak sedikit yang memilih untuk mencari solusi di internet atau bahkan membeli obat tanpa resep yang justru memperburuk kondisi.

Upaya Strategis yang Harus Didorong

Pendidikan Seks yang Komprehensif dan Adaptif

Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu mulai merumuskan kebijakan kurikulum yang mendukung edukasi seksual secara komprehensif. 

Edukasi ini harus mencakup topik-topik penting seperti consent (persetujuan), kontrasepsi, IMS, serta hak dan tanggung jawab seksual. Pendekatan yang digunakan pun harus kontekstual dan sesuai dengan budaya Indonesia, tanpa meninggalkan aspek ilmiah.

Peran Tenaga Kesehatan dan Keluarga

Tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam memberikan layanan ramah remaja, di mana konsultasi dan pengobatan dilakukan tanpa stigma dan diskriminasi. Di sisi lain, keluarga juga berperan sebagai lingkungan pertama untuk membentuk nilai dan sikap sehat terhadap seksualitas.

Komunikasi terbuka antara orang tua dan anak mengenai topik seksualitas perlu ditumbuhkan, agar anak-anak merasa aman untuk bertanya dan memahami risiko sejak dini.

Menata Ulang Pendekatan Kesehatan Reproduksi

Lonjakan IMS di kalangan Gen Z bukan sekadar masalah kesehatan, melainkan refleksi dari krisis informasi dan kurangnya dukungan sistemik terhadap generasi muda. 

Perlu langkah kolaboratif antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan platform digital untuk menata ulang pendekatan terhadap edukasi seks dan akses layanan kesehatan yang inklusif. Bila dibiarkan, tren ini berisiko menciptakan generasi yang sehat secara digital namun rapuh dalam hal kesehatan reproduksi.

Video

Video