Urgensi RUU Pengasuhan Anak
Kasus balita yang mengalami kecacingan di Bengkulu kembali mengingatkan publik pada lemahnya perlindungan anak di Indonesia. Peristiwa tersebut menegaskan pentingnya regulasi yang lebih komprehensif untuk mencegah masalah serupa berulang. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun mendorong percepatan pengesahan RUU Pengasuhan Anak.
RUU ini dinilai mampu memberikan landasan hukum lebih kuat dalam aspek preventif, promotif, hingga rehabilitatif. Perlindungan anak tidak cukup hanya ketika masalah kesehatan muncul, tetapi harus dirancang sejak dini melalui intervensi terstruktur. Tanpa regulasi memadai, anak-anak akan terus menjadi kelompok rentan.
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menekankan bahwa celah hukum saat ini membuat anak sering terabaikan dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. Akibatnya, mereka mudah menjadi korban pengabaian, ketelantaran, hingga kekerasan berlapis. Situasi ini memperlihatkan betapa mendesaknya sistem perlindungan yang menyeluruh.
Kasus Kecacingan Balita Bengkulu
Kasus bermula ketika balita bernama Khaira mengalami sakit dan dibawa ke RSUD Tais oleh orang tuanya. Saat masuk rumah sakit, berat badan Khaira hanya 8 kilogram dengan kondisi demam tinggi dan batuk berdahak. Awalnya, dokter menduga ia mengalami bronkopneumonia atau infeksi paru-paru.
Namun kondisi berubah drastis setelah Khaira berulang kali memuntahkan cacing dari mulutnya. Peristiwa ini membuat tenaga medis segera meningkatkan penanganan ke ruang intensif. Fakta tersebut mengindikasikan kecacingan berat yang memperparah kondisi kesehatan anak.
Tak berhenti pada satu kasus, kakak Khaira yang berusia 4 tahun juga mengalami gejala serupa. Pemeriksaan medis mengungkap bahwa sang kakak turut menderita kecacingan. Keduanya kini menjalani perawatan intensif di rumah sakit dengan pengawasan ketat tim medis.
Dampak Pengabaian Kesehatan Anak
Fenomena kecacingan bukan sekadar masalah medis, melainkan cerminan dari minimnya perhatian pada kesehatan dasar anak. Infeksi cacing dapat menyebabkan gangguan gizi, menurunkan daya tahan tubuh, hingga menghambat tumbuh kembang. Dalam kasus di Bengkulu, balita mengalami kondisi kronis karena kurangnya penanganan sejak awal.
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa keluarga rentan sering kali tidak memiliki akses memadai terhadap layanan kesehatan preventif. Pemeriksaan rutin, pemberian obat cacing, dan edukasi pola hidup bersih seharusnya menjadi langkah sederhana yang bisa mencegah masalah serius. Sayangnya, hal ini kerap terabaikan.
Ketika pengabaian terjadi, anak-anak menjadi pihak paling menderita. Mereka bukan hanya menghadapi risiko kesehatan fisik, tetapi juga trauma psikis akibat sakit yang berlarut-larut. Situasi seperti ini menegaskan bahwa perlindungan anak harus dipandang secara holistik.
Perlunya Pendekatan Komprehensif
Kasus di Bengkulu seharusnya menjadi momentum evaluasi besar terhadap kebijakan perlindungan anak. Pemerintah bersama legislatif perlu segera mengesahkan RUU Pengasuhan Anak agar mekanisme pencegahan dan penanganan lebih jelas. Tanpa regulasi kuat, praktik pengabaian akan terus berulang.
Pendekatan komprehensif mencakup intervensi sejak tingkat keluarga, masyarakat, hingga negara. Program kesehatan masyarakat harus digiatkan, termasuk pemberian obat cacing massal, edukasi gizi, serta kampanye sanitasi. Regulasi hanya akan efektif jika didukung implementasi nyata di lapangan.
Dengan regulasi yang kuat, setiap pihak memiliki tanggung jawab jelas dalam melindungi anak. Baik pemerintah, lembaga pendidikan, tenaga kesehatan, maupun orang tua wajib terlibat aktif. Hanya melalui kolaborasi sistematis, anak-anak Indonesia dapat tumbuh sehat dan terlindungi.
Momentum Perubahan
Kasus Khaira dan Aprilia bukan sekadar cerita tragis, melainkan peringatan keras bagi semua pihak. Situasi ini membuktikan bahwa anak-anak masih berada dalam posisi rentan tanpa perlindungan hukum yang kuat. Kecacingan hanyalah satu contoh nyata dari banyak persoalan kesehatan anak yang kerap luput.
Percepatan pengesahan RUU Pengasuhan Anak menjadi krusial agar perlindungan tidak lagi parsial. Dengan regulasi baru, diharapkan intervensi lebih awal dapat mencegah tragedi kesehatan yang merugikan anak. Perlindungan yang menyeluruh menjadi fondasi masa depan bangsa yang lebih sehat.
Masyarakat juga harus mengambil peran aktif dalam menjaga kesehatan anak. Perhatian terhadap pola hidup bersih, gizi seimbang, serta pemeriksaan rutin merupakan langkah kecil yang menyelamatkan banyak nyawa. Momentum ini sebaiknya tidak disia-siakan untuk memperbaiki sistem perlindungan anak Indonesia.