Latar Belakang Kebijakan Nasional
Presiden Prabowo Subianto menyoroti serius persoalan tata kelola singkong dan turunan produknya. Rapat terbatas di Hambalang menjadi momentum penting pembahasan kebijakan khusus. Pemerintah diminta merumuskan solusi nyata agar kesejahteraan petani tetap terjaga.
Isu utama muncul dari protes petani mengenai maraknya impor singkong yang menekan harga lokal. Pemerintah pusat dan daerah diminta mengambil langkah sinergis menghadapi tantangan ini. Tujuannya menjaga stabilitas pasokan sekaligus memperkuat posisi petani dalam rantai pasok.
Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya menegaskan pemerintah berkomitmen melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Tidak hanya kementerian terkait, tetapi juga pelaku industri dan pemerintah daerah. Kolaborasi multipihak diyakini mampu memberi dampak jangka panjang terhadap tata niaga singkong.
Dampak Anjloknya Harga Ubi Kayu
Petani singkong menghadapi tekanan berat akibat rendahnya harga jual di tingkat lapangan. Harga yang hanya Rp600–700 per kilogram tidak mampu menutup biaya produksi. Kondisi ini menggerus keuntungan bahkan menimbulkan potensi kerugian besar.
Singkong menjadi bahan baku vital untuk industri tapioka yang tersebar di dalam negeri. Namun, daya serap industri tidak sebanding dengan produksi petani. Situasi ini diperparah oleh impor tapioka yang menekan daya tawar petani.
Ketidakseimbangan antara biaya produksi dan harga jual menciptakan ketidakpastian berkelanjutan. Jika tidak segera diatasi, banyak petani terancam meninggalkan lahan singkong. Konsekuensinya dapat mengganggu pasokan bahan baku nasional.
Rapat Koordinasi dan Hasil Kesepakatan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memimpin rapat teknis di Lampung. Pertemuan ini menghadirkan perwakilan pemerintah daerah, petani dari tujuh kabupaten, dan pengusaha besar. Diskusi intensif menghasilkan kesepakatan strategis untuk perbaikan tata niaga.
Keputusan penting pertama adalah pembatasan impor tapioka melalui mekanisme rekomendasi resmi. Langkah ini mencegah masuknya produk impor tanpa kendali yang merugikan petani lokal. Hanya produsen tertentu yang memperoleh izin dari Kementerian Perindustrian.
Selain itu, disepakati penerapan bea masuk pengamanan sementara sebagai proteksi tambahan. Kebijakan ini berlaku 200 hari sebagai masa transisi. Tujuannya memberikan ruang bagi industri domestik menyesuaikan kapasitas serapan singkong lokal.
Penetapan Harga dan Standardisasi Alat Ukur
Kebijakan harga menjadi salah satu instrumen menjaga keberlanjutan petani singkong. Pemerintah memutuskan menerapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk ubi kayu. Penetapan dilakukan oleh Menteri Pertanian guna memberi kepastian harga dasar.
Pada saat yang sama, HET untuk tapioka ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Dengan demikian, keseimbangan antara petani, industri, dan konsumen tetap terjaga. Regulasi harga ini diharapkan menekan praktik spekulasi pasar.
Tidak kalah penting adalah standardisasi alat ukur kadar aci dalam singkong. Kementerian Perdagangan ditugaskan memastikan kejelasan kualitas bahan baku. Langkah ini menciptakan transparansi nilai jual serta mengurangi potensi konflik harga.
Prospek Keberlanjutan Komoditas Singkong
Langkah-langkah kebijakan yang diambil pemerintah merupakan respons strategis. Fokus utamanya menjaga daya saing petani sekaligus memperkuat ketahanan pangan nasional. Singkong dinilai memiliki potensi besar sebagai sumber pangan dan industri.
Dengan pengaturan impor, kebijakan harga, serta standardisasi, pemerintah berupaya menciptakan ekosistem berkelanjutan. Keberlanjutan ini tidak hanya berdampak pada petani, tetapi juga industri turunan. Nilai tambah singkong dapat terus meningkat di pasar domestik maupun ekspor.
Jika implementasi kebijakan berjalan konsisten, kepercayaan petani terhadap pemerintah akan semakin kuat. Pada akhirnya, singkong tidak lagi dianggap komoditas marjinal. Melainkan menjadi penopang penting dalam pembangunan ekonomi nasional.